Pemerintah resmi  melarang masyarakat untuk melakukan mudik Lebaran 2021. Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) No.13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah.

Dalam Surat Edaran tersebut disebutkan latar belakang  penerbitannya, yakni bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah memberikan peluang pada meningkatnya mobilitas masyarakat, baik untuk kegiatan keagamaan, keluarga, maupun pariwisata. Peningkatan mobilitas tersebut berisiko meningkatkan laju penularan Covid-19, sehingga mobilitas masyarakat perlu dibatasi. Tujuannya adalah untuk pemantauan, pengendalian, dan evaluasi, dalam rangka mencegah peningkatan Covid-19 selama Ramadhan dan Idul Fitri 1442 Hijriah. Surat Edaran tersebut berlaku 6 – 17 Mei 2021.

Definisi mudik ditegaskan juga dalam SE tersebut, yaitu kegiatan pulang ke kampung selama Ramadhan dan Idul Fitri 1442 Hijriah. Ini untuk menghindari beragam penafsiran seperti yang terjadi pada tahun lalu.

Perjalanan yang diatur dalam SE ini adalah pergerakan orang dari satu daerah ke daerah lain berdasarkan batas provinsi, kabupaten, kota, atau negara, baik menggunakan transportasi pribadi maupun umum melalui jalur darat, kereta api, laut, dan udara.

Pengecualian definisi perjalanan orang menurut peraturan ini hanya untuk pelaku perjalanan penerbangan perintis, transportasi laut ke pulau terpencil, dan dukungan distribusi logistik esensial. Yang dimaksud pelaku perjalanan dalam SE ini adalah mereka yang melakukan perjalanan domestik atau internasional dalam 14 hari terakhir dengan tujuan mudik atau wisata.

Pengecualian dari aturan ini hanya diberikan untuk:

  • Pelayanan distribusi logistik
  • Pelaku perjalanan dengan keperluan mendesak untuk kepentingan non-mudik, yaitu:
  • bekerja/perjalanan dinas
  • kunjungan keluarga sakit
  • kunjungan duka anggota keluarga meninggal
  • ibu hamil yang didampingi satu anggota keluarga
  • kepentingan persalinan yang didampingi maksimal dua orang

Mereka yang masuk daftar pengecualian di atas harus membawa dokumen tercetak surat izin perjalanan tertulis atau surat izin keluar/masuk (SIKM). Rinciannya sebagai berikut:

  • Pegawai instansi pemerintah atau aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN/BUMD, atau anggota TNI/Polri, wajib membawa dokumen tercetak izin pejabat setingkat eselon II, dengan tanda tangan basah atau elektronik pejabat beserta identitas pelaku perjalanan.
  • Pegawai swasta membawa dokumen tercetak izin tertulis dari pimpinan perusahaan, yang dilengkapi tanda tangan basah atau elektronik pimpinan perusahaan, beserta identitas pelaku perjalanan.
  • Pekerja sektor informal membawa dokumen tercetak izin tertulis dari kepala desa atau lurah, dilengkapi tanda tangan basah atau elektronik kepala desa atau lurah, beserta identitas pelaku perjalanan.
  • Masyarakat umum non-pekerja membawa dokumen tercetak izin tertulis dari kepala desa atau lurah, dilengkapi tanda tangan basah atau elektronik kepala desa atau lurah, beserta identitas pelaku perjalanan.

 

Surat izin perjalanan atau SIKM hanya berlaku:

  • individual
  • satu kali perjalanan pergi-pulang lintas kota, kabupaten, provinsi, atau negara
  • wajib bagi pelaku perjalanan berusia minimal 17 tahun

Selama masa berlaku aturan ini, akan ada pemeriksaan surat izin perjalanan atau SIKM dan surat keterangan negatif Covid-19 dengan RT-PCR, rapid test antigen, atau tes GeNose C19 di pintu kedatangan tujuan perjalanan atau di pos kontrol.

Pelaksana pemeriksaan adalah anggota TNI/Polri dan pemerintah daerah.

Lokasi pos kontrol adalah:

  • Rest area
  • Perbatasan kota besar
  • Titik pengecekan (check point)
  • Titik penyekatan daerah aglomerasi.

Aglomerasi adalah kesatuan wilayah yang terdiri dari beberapa pusat kota atau kabupaten yang saling terhubung, baik melalui darat maupun laut.

Pelaku perjalanan wajib melakukan karantina mandiri selama 5×24 jam di lokasi tujuan, sebelum bisa melanjutkan aktivitas di daerah tersebut.

Masyarakat diimbau untuk sahur dan buka bersama keluarga satu rumah, melakukan silaturahmi virtual, serta membatasi pertemuan fisik dengan keluarga atau kerabat yang tidak satu rumah.

Sanksi pelanggaran atas aturan ini akan berupa denda, sanksi sosial, kurungan, dan atau pidana sesuai peraturan perundang-undangan.

 

Sumber: Kompas.com

  • Post author:
  • Reading time:4 mins read